Hambatan dalam Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

Sejak 2020 hingga sekarang, pandemi telah mempengaruhi berbagai sektor kehidupan di Indonesia, salah satunya sektor energi. Tidak bisa dipungkiri, COVID-19 menyebabkan pengembangan energi terbarukan harus mengalami hambatan.

Bahkan, sejumlah negara seperti Austria dan Perancis diketahui terpaksa menyesuaikan kembali target dan jadwal proyek pengembangan EBT (Energi Baru Terbarukan) dengan memperpanjang waktu proyek hingga enam bulan. Berikut penjelasan selengkapnya.

Hambatan pengembangan EBT

Krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19 dapat disebut sebagai alasan utama terhambatnya pengembangan energi terbarukan. Jika darurat kesehatan dan ekonomi akibat pandemi tidak dapat diselesaikan dengan cepat, dalam dua tahun ke depan hal ini akan menghambat transisi energi.

Tak hanya itu, adanya pembatasan wilayah dan fisik serta isu pembebasan lahan diketahui juga menjadi penghambat pengembangan energi terbarukan. Ya, akibat pandemi COVID-19, pemerintah harus menambah dan/atau mengubah arah kebijakan-kebijakan, salah satunya penerapan pembatasan wilayah dan pembatasan fisik.

Hal tersebut berdampak pada tertundanya proyek EBT. Lantas, bagaimana dampaknya? Menurut laporan yang ada, International Energy Agency memprediksi tahun ini akan ada penurunan dari penambahan kapasitas listrik EBT yang seharusnya. Kemungkinan, penurunan tersebut sebesar 13% lebih drastis dibandingkan dengan tahun 2019.

Padahal, berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA), penggunaan EBT di dunia semakin meningkat dalam dua dekade terakhir. Pada 2000, penggunaan EBT sebagai sumber energi listrik dunia baru mencapai 18,7%. Pada 2018, persentasenya meningkat menjadi 25,6%, sementara pada 2024 pembangkit listrik dari EBT diperkirakan akan mencapai 30%.

Tak hanya itu, isu adanya pembebasan lahan juga jadi penyebab terhambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Diketahui pengelolaan lahan di Indonesia saat ini tengah berada di bawah pemerintah nasional, daerah, dan lokal sehingga mereka saling bersaing dalam mengatur penggunaan lahan.

Sistem pembebasan lahan ini cukup rumit. Pihak pengembang proyek harus membuktikan kepatuhan mereka pada perencanaan tata ruang regional yang sudah ada. Kemudian, mereka juga harus memperoleh persetujuan atau izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menggunakan lahan hutan. Mengapa harus lahan hutan? Lahan hutan menyumbang sekitar 70% dari keseluruhan lahan di Indonesia.

Setelah izin diterbitkan, pihak pengembang proyek harus memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan seluruh transaksi yang diperlukan untuk membebaskan lahan. Jika tidak, ada risiko izin tersebut akan dicabut. Pembebasan lahan untuk pengembangan energi terbarukan adalah suatu proses yang panjang dan rumit. Hal ini lah yang menjadi salah satu penghambat pengembangan EBT di Indonesia.

Sinergi pemerintah, swasta, dan masyarakat

Pemerintah terus melakukan upaya untuk mengatasi hal ini salah satunya dengan cara giat dalam investasi energi bersih. Berbagai kebijakan konservasi energi dalam bentuk peningkatan efisiensi terus dilakukan.

Memberi pendapat, Wakil Ketua Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) Andri Doni mengatakan peran swasta sangat diharapkan dalam pengembangan EBT. Pernyataan ini juga didukung dengan pendapat Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) yang berharap pemerintah tidak bergerak sendiri dalam mengembangkan EBT di Indonesia, namun juga mengandalkan pihak swasta.

Sekretaris AESI mengatakan sebaiknya pemerintah memprioritaskan investasi pembangkit EBT di area-area pelosok Indonesia dan fokus pada pembuatan regulasi tarif pembangkit EBT yang efeknya akan memudahkan masyarakat menggunakan bahkan mengembangkan EBT berskala kecil.

Menurut AESI, investor kalangan swasta dapat bekerjasama dengan pemerintah dengan cara memaksimalkan investasi pembangkit EBT di kota-kota besar yang menarik secara komersial, kemudian pemerintah akan fokus pada kawasan-kawasan terpencil yang sulit dijangkau swasta.

Dalam sebuah dialog interaktif online, Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan menjelaskan bahwa dalam mengembangkan EBT di Indonesia, dibutuhkan dua cara, yakni komersial dan non komersial. Komersial berkaitan dengan bagaimana pihak swasta berkontrak dengan PLN, sedangkan non komersial berkaitan dengan bagaimana pemerintah memberikan pilot project agar EBT bisa dikomersilkan secara baik.

Selain swasta, peran masyarakat, seperti misalnya mahasiswa, juga didorong untuk mendukung pengembangan energi terbarukan. Mahasiswa bisa memanfaatkan momen ini untuk mengembangkan teknologi yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Tentunya, hal tersebut akan berguna untuk mendukung program pemerintah dalam sektor ketenagalistrikan, yakni pengembangan energi terbarukan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi sosial.

Melihat keseriusan pemerintah dalam upaya pengembangan energi terbarukan, Anda sebagai masyarakat tentu bisa ikut berkontribusi. Salah satunya dengan memasang panel surya atap bersama SolarKita. Selain ikut membantu pengembangan energi terbarukan, Anda pun jadi bisa hemat tagihan listrik. Yuk, wujudkan pengembangan energi terbarukan bersama SolarKita!

Written by Deslita Krissanta Sibuea | 10 Feb 2021