Mengenal COP, Konferensi Perubahan Iklim PBB untuk Rawat Lingkungan Dunia

Merawat lingkungan sudah menjadi kewajiban utama manusia, mengingat tidak ada lagi yang bisa melakukan hal ini selain manusia sendiri. Terlebih, hingga saat ini manusia menjadi makhluk yang paling banyak memanfaatkan sumber daya alam dari lingkungan di sekitarnya. Jadi, tidak mengherankan jika kewajiban untuk merawat lingkungan dibebankan pada manusia.

Berbagai upaya terus dilakukan manusia untuk merawat lingkungan di sekitarnya, terutama setelah terjadi perubahan iklim yang mengakibatkan menurunnya kelestarian lingkungan dunia. Salah satu upaya untuk merawat lingkungan tersebut bisa dilihat dari diselenggarakannya Conference of the Parties (COP) sebagai bagian dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Sudahkah Anda mengenal COP beserta UNFCCC ini? Apa perbedaannya dibandingkan dengan gerakan konservasi lingkungan lainnya? Simak ulasannya berikut ini.

 

Sebuah upaya merawat lingkungan

Conference of the Parties atau yang lebih dikenal sebagai COP merupakan sebuah badan pembuat keputusan yang bertanggung jawab untuk memantau serta meninjau pelaksanaan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Dalam COP, terdapat 197 negara dan wilayah anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang telah menandatangani kesepakatan Framework Convention. Sebanyak 197 negara ini kemudian disebut sebagai parties.  

Agenda tahunan ini telah dimulai sejak tahun 1995. Keputusan yang diambil pada COP biasanya memiliki pengaruh besar terhadap upaya konservasi lingkungan dunia. Tidak hanya itu, karena diikuti oleh banyak negara, dampak dari keputusan yang diambil pun tergolong besar. Sebagai bukti, hasil dari sidang ke-21 COP (COP21) yang diadakan di Paris, Perancis, pada Desember 2015 menjadi perjanjian iklim internasional pertama di dunia.

 

Langkah besar untuk melindungi bumi

Perjanjian iklim yang kemudian dikenal sebagai The Paris Agreement tersebut memobilisasi parties untuk mengambil tindakan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Tindakan ini diambil pasca ditemukannya fakta bahwa peningkatan suhu rata-rata global saat itu telah mencapai angka 2°Celcius di atas level pra-industrial. Masa pre-industrial dijadikan acuan karena pada masa tersebut belum ada industri yang menyebabkan tingginya angka polusi dan belum adanya perubahan pada aktivitas matahari.

Kondisi bumi pada masa-masa tersebut kemudian dianggap ilmuwan sebagai iklim normal atau “alami” bumi. Dengan demikian, semakin mendekati angka tersebut maka semakin aman pula bumi. Perjanjian tersebut kemudian disepakati oleh 197 parties yang berpartisipasi. Sebagai sebuah langkah besar untuk melindungi bumi, parties diwajibkan untuk menyebarluaskan perihal tindakan kontribusi tersebut secara nasional.

Dengan demikian, yang berkewajiban untuk merawat lingkungan bukanlah para ilmuwan serta para pejabat terkait saja, namun juga seluruh lapisan masyarakat di dalam negara parties. Perkembangan dari upaya tersebut wajib dilaporkan setiap lima tahun sekali. Pihak COP berkewajiban untuk meninjau serta mengevaluasi hal tersebut. Apabila suatu negara gagal mencapai angka yang disepakati, maka mereka harus menyusun strategi baru yang lebih efektif.

 

Dari gas rumah kaca hingga masalah keuangan

Selain melahirkan keputusan-keputusan yang mempengaruhi lestarinya lingkungan dunia, COP juga memiliki banyak agenda yang dibahas dalam setiap pertemuan tahunan tersebut. Mulai dari penyebab dari perubahan iklim, upaya untuk mengatasinya, hingga jumlah anggaran yang harus dikeluarkan untuk menyokong upaya tersebut. Bahasan yang diambil memang luas sehingga tidak mengherankan jika konvensi ini berlangsung dalam durasi waktu yang panjang.

Hal-hal teknis pun dibahas dalam COP, termasuk bagaimana supaya negara-negara berkembang juga bisa mendapatkan anggaran yang cukup untuk melakukan upaya konservasi lingkungan. Sebagaimana yang telah Anda ketahui, kebanyakan negara berkembang di dunia menjadi “jalan keluar” bagi negara-negara maju untuk mengembangkan industrinya. Akibatnya, industri mereka semakin maju, namun “meninggalkan” polusi berlebih di negara-negara berkembang.

Di sinilah COP turun tangan. Mereka wajib menjembatani permasalahan semacam itu supaya kelestarian lingkungan bisa didapatkan dan dirasakan hingga anak cucu kita nanti. Beberapa protokol dan mekanisme lahir dari COP untuk mengatur hal ini. Dampaknya mungkin belum terlalu terasa, namun jika setiap negara atau parties yang tergabung dalam COP bisa mematuhi aturan yang disepakati, rasanya tidak ada salahnya untuk menaruh harapan.

 

COP 24: memaksimalkan hubungan teknologi, manusia, dan alam

Lalu bagaimana dengan COP 24 yang diselenggarakan tahun 2018 ini? Tahun 2018 ini Polandia menjadi tuan rumah untuk penyelenggaraan COP 24. Konferensi ini diselenggarakan pada tanggal 2-14 Desember 2018 di Katowice. Tahun ini menjadi kali keempat bagi Polandia untuk menjadi tuan rumah COP. Outcome utama yang diharapkan dari penyelenggaraan COP kali ini adalah implementasi nyata dari Paris Agreement.

Ada tiga elemen yang digarisbawahi dalam COP 24 ini, pertama teknologi, kedua manusia, dan terakhir alam. Melalui pidato pembuka yang disampaikan presiden Andrzej Duda, diketahui bahwa ketiga elemen ini saling terkait dalam upaya pelestarian lingkungan. Di era modern ini perlu dilakukan inovasi untuk melahirkan teknologi yang ramah iklim dan bisa mengurangi emisi gas buang seperti elektromobil.

Manusia juga diperlukan untuk menghasilkan transisi yang adil dan memiliki solidaritas dalam kawasan industri. Alam yang menjadi elemen kunci terakhir merupakan elemen penyeimbang yang harus ditingkatkan kelestariannya supaya dapat mengurangi gas buang seperti CO2 melalui pengadaan lahan untuk kawasan hutan serta manajemen pengairan. Hasilnya, COP 24 berhasil mengeluarkan Katowice Rules sebagai implementasi nyata Paris Agreement.

 

Peran aktif Indonesia di COP

Melihat sejarah serta sepak terjang COP, yang terlihat sepertinya hanya negara-negara maju seperti Jerman, Amerika Serikat, atau Perancis. Padahal negara-negara berkembang juga punya peranan besar dalam menyukseskan COP. Fiji, sebagai sebuah negara kepulauan yang luas daerahnya tidak seberapa, bahkan berani mengajukan diri sebagai salah satu petinggi COP. Lantas, bagaimana dengan Indonesia sendiri?

Bisa dibilang peran Indonesia dalam COP ini tergolong aktif. Bahkan sejak bibit-bibit COP mulai disemai, Indonesia sudah menunjukkan komitmennya. Terlihat dari dukungan yang diberikan Indonesia dalam Konferensi Stockholm pada tahun 1972 lalu. Berangkat dari sana, Indonesia juga terus mengembangkan kontribusi dalam skala nasional melalui disahkannya Undang Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Komitmen Indonesia dalam merawat lingkungan melalui penurunan emisi gas rumah kaca (emisi GRK) pun tidak main-main. Pada COP21 di Paris, Indonesia melalui Presiden Joko Widodo bahkan menyatakan target yang mungkin terdengar ambisius. Bagaimana tidak, target Indonesia adalah 23% penggunaan energi terbarukan pada 2025 nanti. Tidak ketinggalan elektrifikasi pedesaan yang hampir tercapai 100% pada 2019.

Meski terdengar ambisius, target ini perlahan dipenuhi Indonesia. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar, tahun 2016 Indonesia sudah berhasil menurunkan emisi hingga level 8,7%. Pada tahun 2017 bahkan jumlahnya meningkat hingga 16%. Dari data yang disampaikan menteri ini, bisa diketahui bahwa Indonesia memiliki kontribusi aktif dan melakukan implementasi nyata terhadap kesepakatan dalam COP.

 

Untuk mencapai target besar yang disampaikan pada tanggal 2009 lalu memang perjalanan Indonesia masih jauh. Meski demikian, masih ada waktu untuk terus berbenah. Anda juga bisa memberikan kontribusi aktif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menggunakan energi terbarukan seperti energi surya yang tidak mengeluarkan emisi gas buang.

Written by Annisa Hening Noorvitasari | 13 Jan 2019