Paris Agreement, Kesepakatan Negara-negara di Dunia untuk Melawan Global Warming

Paris Agreement merupakan sebuah perjanjian penanganan perubahan iklim yang disepakati oleh 195 negara peduli lingkungan anggota UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Perjanjian ini secara resmi disepakati pada Konferensi Perubahan Iklim Paris di tahun 2015 lalu. Melalui Paris Agreement inilah seluruh negara anggota, termasuk Indonesia, berkomitmen untuk melakukan perubahan dalam pembangunan negara yang rendah emisi.

Paris Agreement mengandung beberapa unsur penting untuk menyelamatkan dunia dari dampak negatif akibat perubahan iklim. Selain itu, di dalam Paris Agreement juga dijelaskan bahwa seluruh negara di dunia harus berkontribusi aktif dalam menekan laju deforestasi, degradasi lahan, dan memperbaiki tata kelola lahan. Tidak ketinggalan perhitungan emisi karbon pada sektor lahan.

 

Sejarah di balik perjanjian Paris Agreement

Jauh sebelum persetujuan perjanjian Paris Agreement ini muncul, di tahun 1992 silam Majelis Umum PBB sepakat untuk membentuk sebuah wadah peduli lingkungan yang dinamakan The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC). Organisasi tersebut merupakan sarana untuk menghubungkan negosiasi antar pemerintah terkait isu global warming.

Konferensi Perubahan Iklim tahunan pun mulai diselenggarakan sejak tahun 1994. Pertemuan ini sendiri dilakukan untuk membahas langkah-langkah yang akan diambil dalam menghadapi perubahan iklim di bumi. Melalui proses negosiasi yang cukup panjang, barulah di awal tahun 2000-an semua negara maju berkewajiban untuk mereduksi emisi gas melalui perdagangan emisi, mekanisme pembangunan bersih, serta implementasi yang dilakukan bersama-sama.

 

Indonesia pernah jadi tuan rumah COP (Conferences of the Parties)

COP (Conferences of the Parties) atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut juga Konferensi Para Pihak merupakan bagian dari Konferensi Perubahan Iklim Paris di bawah pengawasan Badan Lingkungan PBB. Konferensi ini diadakan secara rutin setiap tahunnya dan dihadiri oleh para penggagas sekaligus orang-orang yang menandatangani Paris Agreement.

Hebatnya, Indonesia pernah menjadi tuan rumah COP13 di Bali pada tahun 2007 silam. Melalui COP13 tersebut lahirlah konsep REDD atau kesepakatan untuk menetapkan batasan emisi gas rumah kaca yang timbul akibat deforestasi maupun perusakan hutan. Dalam pertemuan tahunan itu dibahas pula mekanisme yang bisa dilakukan agar setiap negara di dunia mampu mencapai target batasan emisi gas rumah kaca.

 

Meski berdampak positif, Paris Agreement mendapat penolakan dari Amerika Serikat

Di penghujung tahun 2017, kemarin ada yang mengejutkan dari pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan berita hoaks yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melalui pernyataan tersebut Amerika Serikat secara otomatis mundur dan menentang Paris Agreement.

Perlu diketahui, Amerika Serikat merupakan negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia setelah Tiongkok. Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement tentu akan sangat berdampak pada upaya peduli lingkungan yang telah dilakukan oleh negara-negara dunia. Namun, hal ini juga membuat Indonesia berpeluang untuk memperkuat diplomasi bersama-sama negara berkembang lainnya dalam hal kerjasama pendanaan dan alih teknologi bersih.

 

Langkah Indonesia dalam gerakan peduli lingkungan

Gerakan peduli lingkungan dalam Paris Agreement yang disepakati oleh Indonesia menimbulkan beberapa komitmen yang harus dipenuhi, mulai dari ambisi untuk penurunan suhu global dengan tetap melakukan pembangunan perekonomian nasional. Pemerintah Indonesia juga menyuarakan agar para pelaku usaha kehutanan yang ada di dalam negeri turut memberikan dukungan agar target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030, seperti tertuang dalam dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (Nationally Determined Contributions) dalam Paris Agreement dapat tercapai.

Lebih lanjut, pemerintah Indonesia juga berupaya di sektor kelautan, melalui pengelolaan karbon biru (blue carbon). Perlu diketahui, karbon biru merupakan upaya pengurangan emisi karbon dioksida di Bumi dengan cara menjaga keberadaan hutan bakau, ekosistem pesisir, dan padang lamun. Jika dibandingkan dengan hutan di daratan, vegetasi pesisir diyakini dapat menyimpan karbon 100 kali lebih banyak.

 

Indonesia luncurkan sistem perhitungan emisi karbon

Seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini, seluruh negara di dunia wajib ikut serta dalam upaya peduli lingkungan. Dalam hal ini, Indonesia meluncurkan sistem perhitungan emisi karbon di sektor lahan untuk mewujudkan perbaikan dalam penghijauan dan tata kelola lahan. Sistem perhitungan emisi karbon ini juga dikenal dengan istilah INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System).

Pasalnya, pada pembangunan konvensional di tahun 2020 mendatang, Indonesia akan berada di puncak emisi karbon (carbo peak). Pembangunan minim emisi karbon baru bisa terwujud apabila terjalin kerja sama yang baik antara pihak pemerintah dan non-pemerintah hingga masyarakat secara menyeluruh.

Tentu saja melalui sistem perhitungan emisi karbon, Indonesia berupaya untuk menekan dampak yang ditimbulkan dari pembangunan konvensional tersebut. Sebagai perwujudan nyata, Indonesia saat ini telah mengikuti transisi global untuk beralih pada penggunaan energi bersih dan terbarukan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan peningkatan ketersediaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang jauh lebih ramah lingkungan karena didapat dari panas matahari.

 

Implikasi Paris Agreement terhadap sektor energi di Indonesia

Dalam Paris Agreement, tercantum poin yang membatasi kenaikan temperatur pada akhir abad ini di bawah 2°C dan berusaha mencapai batas 1,5°C. Sebagai dampak dari kesepakatan ini adalah seluruh negara anggota harus berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca sebelum 2040 dan menjadi carbon neutral sebelum 2060/2070. Padahal, di Indonesia sendiri sektor energi baik pembangkit listrik ataupun transportasi masih menyumbang 90% dari total emisi yang ada.

Padahal seluruh kegiatan penurunan emisi di Indonesia ada di dalam NDC harus dipastikan tidak memperburuk kemiskinan rakyat. Sebaliknya, kegiatan tersebut sebisa mungkin memberikan dampak positif dalam rangka penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Cara termudah yang bisa dilakukan adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan pembangkit energi terbarukan mencapai angka 39% dari total pembangkit listrik. Oleh karena itu, penggunaan panel surya dapat menjadi solusi terbaik untuk menciptakan energi listrik dari sinar matahari sebagai sumber daya alam yang terbarukan.

 

Penggunaan energi yang ramah lingkungan di Indonesia bahkan tertulis dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang PLTS Atap oleh konsumen PLN untuk meningkatkan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT). Peraturan ini jelas mendukung komitmen Indonesia dalam Paris Agreement untuk mencapai reduksi energi karbon hingga 23% di tahun 2025 mendatang.

Sebagai masyarakat Indonesia, Anda dapat mendukung gerakan peduli lingkungan ini dari hal-hal yang paling terkecil, seperti mengurangi intensitas penggunaan kendaraan bermotor hingga beralih pada sistem panel surya untuk memproduksi energi listrik ramah lingkungan di rumah dan di kantor. Instalasi panel surya merupakan bukti nyata keikutsertaan Anda dalam upaya mengurangi emisi karbon, sebab listrik konvensional yang biasa Anda dapatkan diperoleh dari batubara yang dihasilkan oleh energi fosil yang tak terbarukan.



Written by Inas Twinda Puspita | 04 Dec 2018